Cinta Restiana By Didit Priyanto

Pengarang : Didit Priyanto

Gandaria adalah dunia yang hilang dan di sinilah banyak terekam masalah penting. Corak pinggiran rumah-rumahnya masih seperti pedesaan, membuat mata betah melihat sesuatu apapun bahkan yg berlalu lalang di depan mata “khas”. Bahkan bau harum tanah yg basah karena hujan setiap bulan Desember, seperti menyatu di tempat ini, manis tapi tidak semanis kisah ku. Aku Restina dan ini lah kisah ku.

Dengan panjang lebar akhirnya aku putuskan untuk pindah pekerjaan, bekerja di restoran merupakan pengalaman baru buat ku hingga terasa klise di dengar tapi memang benar saya ingin mencari pengalaman baru.

Meydiana : “Anaaaaa…kenapa kamu pindah sih nanti aku kangen sama kamu. Kenapa kamu keluar??”

Restina : “Kenapa gw pindah, gw ingin ngumpulin banyak jaminan masa tua mey (Jamsostek)!”

Meydiana : “Hahaha,,,ini nih yg bakal aku kangenin sama sahabat aku dari SMP, kita kan serba bareng-bareng dan ini yg aku kangenin, ceplas-ceplosnya, kamu paling bisa”

Restina : “Gw pindah karena ingin nambah pengalaman, hanya itu sekalian refresh otak gw gak mau monoton, bukan berarti silahturahmi nya putus kan Meyy? Kamu bisa curhat-curhatan kapan pun klo kamu sempat Mey, kamu kan pinter galauin anak orang...hehehe”

Meydiana : “Ihhhh... Ana kamu paling biiisaaa dehh, siiipp! Pokoknya kita harus sukses ya, meski gak satu kerjaan lagi”

Restina : “Iya Meyyy…iyaaaaa”

Meydiana adalah sahabatku, sama halnya orangtua (ayah) kami yang dulu sempat nyantri di Pesantren Winongyudan, bahkan sempat berkata jika salah-satu anak kita berpasangan maka nikahkan, untuk mengikat tali silahturahmi dan ternyata ayahku dan ayah Mey tidak memiliki anak selain kami, wanita satu-satunya.

Tiga minggu tak terasa berlalu, pengalaman baru, bertemu dengan orang baru dan sistem baru, kesannya masih ribet sendiri tapi sedikit bisa di handle. Perusahaan yg butuh orang-orang yg fresh dalam rekrutmen-nya maka alasan itu knp banyak staff baru, Alfian laki-laki dengan pakaian hitam putihnya, terlihat biasa.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan pria ini yg selalu belepotan sehabis keluar dengan tepung kemana-mana, jaraknya seminggu dengan ku tapi masih terhitung masih anak baru sama dengan aku, dia freeline di tempat ini, itu kenapa alasannya pakainnya masih hitam putih, menunggu 6 bulan dari pusat dikirim baju staff sini.

Waktu terus berjalan dan aku merasa enjoy dengan keadaan ini ,komunikasi tetap berjalan dengan atasan , karyawan lain dan Alfian entah apa namanya melihat pria ini yg selalu ingat dengan yang lima waktunya selepas jam istirahat selalu pergi di Masjid lantai basement bawah, sedikit bicara banyak bekerja itu kesimpulan ku, menjadikan aku patung melihatnya dan fatalnya adalah tiba-tiba mukanya ada di otakku, secepat ini?!

“Ya Allah, dengan rahmat-Mu hamba mohon jangan murkai aku karena kelalaianku dengan pasanganku mas Adlan. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah aku, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah aku dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Sudah sekitar 9 bulan aku berhubungan dengan mas Fadlan dia sangat aku hargai sebagai pacar yg lebih bisa ngemong karena usianya jauh diatas saya, perkenalan kami di mulai sejak pertengahan Maret tahun lalu di perusahan sebelum ini, dia staff pemula sama dengan aku.

Pekerjaan baru membawa perasaan baru dan tidak biasanya aku seperti ini. entah kenapa dengan aku, wajah mas Adlan memudar berganti menjadi dengan Alfian pria baju hitam putihnya, wajahnya berkilat-kilat di mataku.

Sepertinya otakku butuh refresh lagi. Baru sekitar dua minggu seperti kesadaranku hilang di tempat kerjaku. Aku perlu Meydiana, aku butuh keluar menghirup udara segar dan tanpa fikir panjang aku keluar dengan handphone di genggaman ku, duduk di luar ruangan dengan segelas teh hangat, melihat corak pinggiran Gandaria dan baunya yang khas sehabis hujan, kembali segar. Rasanya memang benar, otakku sudah blank dengan mikir hal yg tidak-tidak dengan Alfian, awal yang biasa kenapa menjadi tiba-tiba selalu ada setiap detik, aku mohon hilangkan wajahnya sedetik saja. Entah kenapa secepat ini aku bisa jatuh hati kepada Alfian, mungkin karena suasana outlet yang sering sepi di waktu tertentu, dan dari sinilah timbul rasa cinta (Kutak-kutik no handphon sekenanya, tut..tut..tut).

Restiana : “Aduh kemana kamu Mey, aku mau curhat ini, aku ingin share semua hal yang aku alami selama dua minggu belakangan ini”.

Selang berapa langkah aku beranjak bergerak melangkah tiba-tiba handphone berdering, ini pasti dari Mey.

Dengan buru-buru aku angkat.

Restiana : “Hallo,,mey!!!??”

Fadlan : “Assalamualaikum, Ana? Ini mas Fadlan, maaf mengganggu mas mau bicara, ini masalah aku dan kamu”

Resti:iya : “Kenapa memangnya mas?”

Fadlan : “Tidak enak aku bicara di telp, nanti kamu pulang langsung ke rumah Ibu ya, Ayah sakit”

Resti : “Sakit kenapa mas, iya nanti ana pulang ke rumah Ibu mas”

Fadlan : “Maaf mas gak bisa jemput kamu, mas harus jaga Ayah di rumah, tadi aku suruh Meydiana jemput nemanin kamu pulang”

Setibanya di depan rumah, Ibu mas Fadlan langsung memelukku, sambil membisikan di telinggaku.

”Ibu mohon dengan keikhlasan Ana untuk segera mau di nikahi oleh Fadlan, mengingat keadaan ayah yang semakin tua”

Ternyata ini yang akan di bicarakan mas Fadlan,dan keluarganya.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan Ibu mas Fadlan. Aku tak mau mengecewakan ayahnya juga yang sudah mau menerima aku. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu,ayah serta mas Fadlan. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon suamiku, Alfian.

Sesudah sore aku pulang dan kehujanan karena keadaan Ayah mas Fadlan belum terlalu pulih, sehingga mas Fadlan tidak bisa menjemputku, maka aku putuskan untuk mampir ke rumah Meydiana, aku ingin curhat. Sampai dirumah habis maghrib, rasanya lemas, perutku belum kemasukkan apapun kecuali segelas teh hangat kesukaanku,

Restiana : “Tok..tok.. Assalamualaikum! Mey,,,?!”

Meydiana : “Wa’alaikumsalam. Iya, silahkan masuk”

Tanpa pikir panjang melihat Meydiana, aku langsung peluk erat badanya.

Restiana (menggerutu) :
“Mey, aku mohon hilangkan wajah pria itu dari hadapanku, wajahnya selalu mengikutiku, aku mohon, hilangkan! Tolong aku Mey, hilangkan”.

Tiba-tiba Meydiana tertegun, melihat kenyataan ini, meydiana kaget mendengar ungkapan sahabatnya. Karena ia tahu betul bahwa mas Fadlan sangat menyayangi Restina. Meydiana memandangiku dengan khawatir.

Mediyana : “Ana dengar aku” tanyanya dengan perasaan khawatir. “Baiklah sekarang kamu mandi dulu dengan air panas saja, aku sedang merebusnya, sebentar lagi mendidih” lanjutnya.

Aku melepas semua pakaian yang basah.

Mediana : “Ana airnya sudah siap”

Selesai mandi hidangan teh manis hangat dengan nasi dan sayur sudah di hidangkan Ibu Meydiana, saat makan Meydiana dan aku tak bicara sepatah katapun dan selesai makan tiba-tiba Meydiana membuka pembicaraan.

Meydiana : ”Aku akan datangi pria itu”

Restiana : ”Jangan! Jangan Mey!” sahutku

Meydiana : ”Ana dengar aku, kasihan mas Fadlan. Aku ingin bilang kepada pria itu untuk segera membawamu pergi jika memang itu yang terbaik untuk mu, Ana!!”

Tiba-tiba aku tertegun, aku pikir Meydiana akan melarangku. Ternyata justru sebaliknya.

Restiana : “Tapi aku akan menikah, Mey?”

Meydiana : “Akan ada pesta tapi tidak akan ada pernikahan!! Aku akan datangkan pria itu ke pernikahanmu” Jawabnya

Restina : ”Bagaimana dengan hatinya mas Fadlan, Mey? Orang tuanya? Keluargaku?”

Meydiana : ”Great, itu kamu bisa jawab, Ana. Restiana dengar kan aku, sahabatmu ini. Kalau memang kamu tahu maka pikirkanlah hati mas Fadlan, entah apapun sebutanya. Dia sudah seperti jelmaan tuhan buatmu, rasa sayangnya kepada kamu, keluagamu, sedangkan pria itu yang sebentar kamu kenal layaknya gunung yang jauh terlihat indah di seberang sana maka biarkanlah pria itu indah terlihat di sana tanpa harus memiliki, kan?

Aku pun diam 1000 bahasa, mendengar nasihat meydiana, ternyata dia melarang dan tidak sebaliknya, semua terhenti. Memang ada benarnya, melihat pengorbanan mas Fadlan selama ini. Tapi raut kegantengannya yang ku inginkan tak ku temukan sama sekali lg pada mas Fadlan.

Manager, teman-teman satu outlet yang kadang aku curhat dengan mereka. Sebut saja ka Fajar, ka Gisele dan teman-teman yang lain mengakui Alfian biasa tapi mungkin lama-lama makin enak di lihat, tampan. Tampan nya alami, mungkin karena rajin sholat sehingga auranya selalu keluar, begitu hanyut dengan momen-momen kebersamaan, bercanda sesuka hati, atasan yang down to earth kepada bawahan, mungkin timbul karena alasan ini. Laki-laki keturunan suku Jawa yang auranya seperti Raden Jawa, wajahnya biasa tapi manis, dengan harum tubuh nya yang khas, mata bening, kulit nya sawo matang.

Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk mas Fadlan tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada Ayah-Ibuku serta kedua orang tua mas Fadlan tetapi wajah riang mendengar akan ada hajat dekat-dekat ini meluluhkanku. Sampai tiba saat pernikahan ku. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pesta pun meriah dengan tampil alakadar nya. Lantunan shalawat Nabi pun terasa menusuk-nusuk hati. Ku lihat mas Fadlan tersenyum manis tetapi hati ku terasa teriris-iris dan jiwa ku meronta. Satu-satu nya harapan ku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas bakti ku pada orantua ku dan orang tua mas Fadlan serta mendengar nasehat Mey.

Rabbigfirli waliwalidayya! Layak nya pengantin baru, ku paksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayat Nya. Kenapa hati ku menjadi pudar dengan mas Fadlan, dunia berputar 180 derajat, semenjak bertemu Alfian.

Wajah mas Fadlan tenang dan mengembang, hati ku menangisi kebohongan ku dan kepura-puraan ku. Alfian yang indah seperti gunung yang terlihat indah dari kejauhan hanya bisa aku ratapi sekarang, Ingin berkata sedetik saja, ingin aku besama-sama Alfian itu saja yang selalu ku pikirkan.

Tepat dua hari, mas Fadlan membawa aku ke kontrakan dipinggir kota mampang, pasar minggu. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur dan shalat bersama dengan laki-laki yang sejak dua hari lalu sah menjadi suami ku tapi tidak ada rasa lagi. Masya Allah bibit cinta ku langsung hilang ini. Wajah nya yang teduh tetap terasa asing. Apapun yang menjadi kebaikan mas Fadlan selalu aku bandingkan dengan Alfian, apapun. Satu bulan pas, rasa muak hidup bersama mas Fadlan mulai ku rasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini. Apalagi pada suami sendiri yang seharusnya ku sayang dan ku cintai. Sikap ku pada mas Fadlan mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis dan tidur pun lebih banyak di ruang. Aku merasa hidup ku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, mas Fadlan mulai merasakan hal yang sama karena ia orang yang berpendidikan maka ia pun tanya, tetapi ku jawab "tidak apa-apa koq Fad, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga".

Ada kekagetan yang ku tangkap di wajah mas Fadlan ketika ku panggil ‘fad’.

Fadlan : “Kenapa kamu memanggilku Fad, aku kan suami mu, apa kamu sudah tidak mencintai ku" tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

Restiana : "Wallahu alam" jawabku sekenanya.

Dengan mata berkaca-kaca mas Fadlan diam menunduk, tak lama kemudian ia terisak-isak sambil memeluk ku.

Fadlan : “Kalau kamu tidak mencintai ku, tidak menerima ku sebagai suami mu kenapa kamu mau aku nikahi? Kalau dalam tingkah ku memimpin mu dalam rumah tangga masih ada yang kurang berkenan, kenapa kamu tidak bilang dan menegur ku, kenapa kamu diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan kamu, ku mohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadah ku didunia ini". Mas Fadlan mengiba penuh pasrah.

Aku menangis menitikan air mata buka karena mas Fadlan tetapi karena kepatunganku.

Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi aku tetap melayani, menyiapkan segalanya untuknya.

Suatu sore aku pulang kerja, kumel kepanasan, lelah dan letih. Semangat berangkat bekerja karena ingin bersama seharian dengan Alfian, melihat dia, dekat dengan dia, tapi rasanya beda ketika pulang kerja, hampa, sedih dengan ini semua. Bibir ku pucat, mas Fadlan memandangi ku dengan khawatir.

Fadlan : “Dik tidak apa-apa?” tanyanya dengan perasaan khawatir. Kamu mandi dulu saja, mungkin ingin mandi dengan air hangat mas bisa merebusnya untuk mu" lanjutnya.

Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi mas Fadlan telah berdiri di depan pintu membawa handuk.

Fadlan : “Dik aku buatkan wedang jahe yah?"

Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa ku tahan. Dengan cepat mas Fadlan berlari ke kamar mandi dan mengejar ku, memijit-mijit pundak dan tengkuk ku seperti yang dilakukan Ibu.

Fadlan : “Ana kamu masuk angin. Biasanya kalau masuk angin di obati pakai apa enaknya yah? Pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" tanya mas Fadlan sambil menuntunku ke kamar. Ana jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus ku lakukan untuk membantu kamu”

Restiana : “Biasanya pake balsam, sebentar sembuh" jawabku lirih.

Fadlan : “Kalau begitu kaos mu dilepas ya, biar mas kerokin” sahut mas Fadlan sambil tangan nya melepas kaos ku.

Aku seperti anak kecil yang dimanja ayah ku. Mas Fadlan dengan sabar mengerokin punggung ku dengan sentuhan tangan nya yang kasar. Setelah selesai dikerokin, mas Fadlan membawakan ku semangkok bubur kacang hitam. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Ku lihat mas Fadlan duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, mas Fadlan memang manis tapi tidak semanis Alfian, laki-laki keturunan ras Jawanya. Sepetnya mata membuat aku tertidur dalam tidur ku aku bertemu Alfian, ia menghampiri ku dan membawakan bunga serta seperangkat alat sholat seperti ingin meminang ku, senang, sedih, bahagia, karena bertemu dengan pujaan hati yang selama ini di impikan.

Lalu Alfian bertanya, “Restina inginkah kamu melewati sisa di akhir umur mu bersama ku?”

Belum sempat aku menjawab nya.

Fadlan : “Dik bangun, sudah hampir subuh, kamu belum sholat Isya” kata mas Fadlan membangunkan ku.

Aku terbangun dengan perasaan kecewa.

Fadlan : ”Maafkan, mas membuat kamu kurang suka, tapi kamu belum sholat isya” lirih mas Fadlan sambil melipat sarung, mungkin baru selesai sholat malam.

Walau hanya mimpi tapi tadi itu indah tapi sayang aku di bangunkan dan terputus semua mimpi ku tanpa aku menjawab pertanyaan Alfian. Aku semakin tidak menyukainya tapi apakah mas Fadlan bersalah bukankah mas Fadlan sudah baik hati membangunkan aku untuk sholat Isya?

Aku merasa terpenjara sekarang dengan suasana konyol ini, semakin menjadi-jadi rasa tidak suka ku dengan mas Fadlan, cinta ku di jajah oleh Alfian dan momen terindah ku adalah saat-saat bersama dia di tempat kerja.

Fadlan : ”Dik nanti aku mau menjenguk ayah, semua akan datang termasuk Meydiana” suaranya mas Fadlan menyadarkan ku dengan alfian.

Restiana : “Iya mas kita berangkat sehabis sholat Ashar” sahut ku tanpa pikir panjang.

Mas Fadlan kaget mendengar ku seperti kembali lagi Restiana yang dulu karena memanggil namanya dengan sebutan “Mas” tidak lagi dengan sebutan nama saja.

Restiana : “Mau memakai baju apa mas? Biar Resti siapkan? Lanjutku.

(Maafkan aku mas Fadlan, engkau begitu baik tapi perasaan ini tiba-tiba datang dan tidak bisa di lepas begitu saja)

Aku belum pernah melihat nya memasang wajah masam atau tidak suka pada ku. Kalau wajah sedih nya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah aku lihat sebelum nya. Wanita macam apa aku ini, kutuk ku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dingin ku selama ini. Siapa pun tolong usir wajah Alfian dari otaku. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diri ku sendiri di dunia ini.

Sampai di rumah Ayah, benar saja ternyata kami di elu-elukan karena aku anak tunggal dari keluarga ku maka banyak sekali pertanyaan yang ku dengar.

Ayah : “Pengantin baru” celoteh ayah sambil bercanda

Wajah mas Fadlan dan keluarga nya cerah, lain dengan aku dan aku ingin menangis sejadi-jadinya. Jujur aku belum memiliki cinta yang seperti mas Fadlan lakukan ke aku. Dengan alasan kesehatan, Ayah meminta mas Fadlan untuk tinggal sementara di sini menemani Ayah yang sakit maka langsung saja mas Fadlan memutuskan untuk hari itu juga pindah sementara waktu.

Restiana : “Mas aku ingin tinggal di kotrakan” lirih ku dengan alasan dekat dengan Meydiana dan tempat kerja.

Tanpa berpikir panjang mas Fadlan mengiyakan karena dia tidak ingin mengecewakan aku dan diantarkan aku ke rumah Mediana karena rumah ayah mertua jauh dari kontrakan.

Ayah : “Ana tinggal lah sebentar dengan Fadlan di sini menemani Ayah!” dengan lembut Ayah mengajak dan merayu ku.

Tiba-tiba mas Fadlan menyauti, “Ayah kalau harus pulang pergi dari sini jauh dari tempat kerja Ana. Kalau begitu biar ayah sendiri saja, kan masih ada ibu yang mengurus ayah?”

Ayah : “Tidak usah, kasihan Ibu sudah tidak kuat fisik, biarkan, biar sama-sama enak saja ya yah, Ana tidak jauh dari tempat kerja dan ayah juga ada yang menjaganya”

Fadlan : “Ana untuk biaya sehari-hari kedepan aku letakkan uang secukupnya untuk 1 bulan di bawah kasur”

Aku sedikit lega, setiap hari aku tidak bertemu orang yang membuatku tidak nyaman. Sebenarnya ini bukan kehendak ku, aku hanya ingin membanggakan orang tua ku.

Suatu hari aku pergi, aku di ajak silahturahmi ke tempat SPV ku untuk acara kumpul-kumpul bareng dan bakar ayam, kegiatan yang rutinitas di lakukan oleh kami dengan alasanya untuk tambah mengikat kebersamaan. Aku berpikir jika aku ikut pasti aku akan melihat Alfian, melihat saja dan memandang wajah nya saja sudah membuat aku puas, karena aku pun tahu diri, aku ini istri orang, biarkan saja ku ladeni perasaan yang tidak wajar ini yang dating tanpa permisi. Aku berharap dengan sering bertemu dengan nya mungkin aku akan cepat bosan dan bayangan nya cepat pergi dari angan-angan ku seperti rasa cintaku yang tiba-tiba datang.

Malam indah ini membuat aku tidak peduli dengan kesehatan ku. Aku mulai tidak enak badan, badanku menggigil, rasanya tidak karuan, insomnia, coba kalau ada mas Fadlan mungkin tidak akan sesusah ini.

Saat itu terlintas dihati andaikan ada mas Fadlan, ia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hitam, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggung ku. Lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuh ku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam 6 pagi. Badan sudah segar tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat Subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada mas Fadlan tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya dan tidak terlambat sholat Subuh.

Sore hari sehabis pulang kerja, aku melihat Alfian dengan pria yang ternyata setelah aku dekati adalah mas Fadlan. Belum sempat aku mendekati tapi mereka sudah pergi seperti telah membicarakan hal yang serius, pikir ku mungkin aku bisa tanyakan dengan mas Fadlan dari cara mereka bicara seperti nya mas Fadlan mengancam Alfian.

Dan setelah kejadian melihat itu, hampir dua minggu aku tidak bertemu mas Fadlan. Tidak biasanya Meydiana, walaupun aku dekat tapi jika waktunya sibuk bisa satu bulan tidak bertemu itu hal biasa.

Suatu malam aku mendapati pesan singkat yang ternyata pesan dari Alfian, tidak aku sangka-sangka, ada apa gerangan yang menjadi tidak biasa. Isi pesanya,”Rest ini aku Alfian maaf sudah mengganggu Resti, aku ingin kamu jujur dari hati kamu apa yang Resti rasakan selama ini dengan ku”

Restiana : “Jujur selama ini aku suka sama Alfian. Maaf ya Ian, aku udah buat malu kamu dengan buat gosip yang tidak-tidak di outlet. Aku jg malu, aku hanya ingin seperti dulu yang suka bercanda bareng, ngobrol bareng, kamu juga tahu aku sudah menikah”

Alfian : “Hahaha...aku gak sangka, kamu sampai segitu nya. Aku laki-laki yang masih egois Res, terima kasih sudah mau mencintai aku, tapi waktu itu mas Fadlan menemui ku”

Restiana : “Mas Fadlan!!? Kenapa? Aku sempat melihat kalian berbicara. Apa mas Fadlan mengancam mu? Cerita kan semua yang kalian bicarakan”

Alfian : “Tidak Res, apa yang kamu lihat tidak seperti apa yang terlihat, mas Fadlan meminta ku untuk menikahi mu. Aku tau setelah kita bertemu kemarin dan mas Fadlan tahu dari Meydiana”

Alfian : “Mas Fadlan yang memaksa, awalnya Mey tidak ingin bercerita tapi karena di paksa oleh Mas Fadlan maka ia menceritakan bahwa selama ini ada laki-laki lain selain mas Fadlan. Mas Fadlan bercerita padaku seperti itu, jadi jangan salahkan Mey dan juga jangan salahkan mas Fadlan karena mas Fadlan bercerita, kehidupan rumah tangganya selama ini dengan kamu berbeda”

Alfian : “Apapun namanya ini aku melihat tuhan yang menjelma menjadi manusia seperti mas Fadlan suami mu, Res. Aku tidak sangka di zaman yang semakin gila ini masih ada orang seperti mas Fadlan, bukan aku menolak, tapi aku sudah memiliki calon wanita yaitu dengan wanita yang kebetulan teman PKL ku dulu semasa sekolah”

Entah apa yang aku harus katakana aku tiba-tiba menangis, tak terasa keluar air mata ini membaca pesan singkat Alfian. Membaca pesan singkat dari Alfian seperti tersambar petir. Mas Fadlan sungguh besar cinta nya kepada ku sampai-sampai mendatangi Alfian dan menyuruh untuk menikahi ku..

Tiba-tiba aku ingin berlari dan bersujud di kaki mas Fadlan, apapun yang terjadi aku mencintai laki-laki ini, laki-laki yang sekuat tenaga menjadi tulang punggung untuk ku tapi aku sia-siakan, aku tidak pedulikan handphone yang ada di genggaman ku, aku tidak peduli dengan Alfian. Wajah Alfian luntur seketika berubah menjadi wajah mas Fadlan.

“Ya Allah, dengan rahmat-Mu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayangi nya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakan nya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau".

Tak terasa air mataku mengalir lagi seperti tidak akan berhenti, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku, aku bayangkan semua kebaikan mas Fadlan. Wajahnya yang teduh, pengorbanan dan pengabdian nya yang tiada putus nya, suara nya yang lembut seperti Ayah yang menjaga anak nya, semua nya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwa ku. Rasa sayang dan cinta pada mas Fadlan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya mas Fadlan terus berkilat-kilat di mata. Aku tiba-tiba begitu merindukan nya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan mas Fadlan. Ku kebut motor mas Fadlan yang di titipkan untuk aku bekerja yang padahal sangat dekat. Ku pacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Ku tahan dengan nafas panjang dan ku usap air mata ku. Melihat kedatangan ku, Ibu mertua ku memeluk ku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.

Restiana : “Mana mas Fadlan Bu?” Ibu mertua hanya menangis dan menangis.

Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

Ibu : “Ayah...suamimu...suamimu...” sahut Ibu sambil terus menangis

Restiana : “Ada apa dengan dia?” jawabku

Ibu : “Mereka telah tiada"

Restiana : “Apa?!!"

Ibu : “Fadlan telah meninggal seminggu yang lalu. Ia terjatuh di kamar mandi, ia sedang mengantar ayah nya mandi, awalnya ayahnya yang jatuh dan dengan segera Fadlan menyangga tubuh ayahnya lalu Fadlan yang tesungkur jatuh menahan badan ayahnya, Dia tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan nya selama menyertai mu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuat mu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuat mu menderita. Dia minta kau meridhionya”

Hatiku bergetar hebat.

Restiana : “Ke...kenapa Ibu tidak memberi kabar padaku?"

Ibu : “Ketika Fadlan dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemput mu di rumah kontrakan tapi kamu tidak ada, aku hubungi meydiana jg tidak bisa. Kami tidak ingin mengganggu mu. Apalagi Fadlan berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama bekerja. Dan ketika Fadlan meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah kami”

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Fadlan, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakan nya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan pada ku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukum ku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Kemudian Ibu mertua mengajak ku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat mas Fadlan tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin mas Fadlan hidup kembali. 

----- TAMAT -----

Popular posts from this blog